Sunday, December 25, 2005

Dari Inteligensia Digital ke Inteligensia Spiritual

Dr. Hidayat Nataatmadja, Pakar Ekonomi Pertanian IPB, lulusan Universitas Hawaii (1974) dan sangat menggandrungi ilmu Fisika.


Renungan Profesional Pemikir Barat
Banyak di antara tokoh ilmuwan Barat yang merasakan kerancuan dalam perkembangan IPTEK, khususnya dalam bentuk semakin kuatnya dominasi kemampuan rasional dalam pikiran manusia modern. Meski demikian, mereka cuma bisa menghimbau, dan kecenderungan semakin kuatnya dominasi rasionalisme dan sekularisme itu tidak bisa dibendung.

Pertama, renungan Fritjof Capra: “Sebagian besar ahli fisika dewasa ini tidak menyadari apa implikasi teori yang mereka kuasai terhadap filosofi, budaya, dan spiritualitas. Banyak di antara mereka secara aktif mendukung kehidupan sosial berdasarkan pandangan duniawi yang sifatnya mekanistik dan berkotak-kotak, tanpa menyadari bahwa sains menunjukkan pada sesuatu yang berada di luar pandangan seperti itu, pandangan mengenai menyatunya jagad raya, bukan hanya lingkungan alami, melainkan termasuk seluruh umat manusia di dalamnya.

Saya yakin, bahwa implikasi sains terhadap pandangan duniawi tidak konsisten dengan keadaan masyarakat dewasa ini, yang tidak mencerminkan hubungan harmonis yang berlaku di alam semesta. Untuk meraih keseimbangan dinamis seperti itu diperlukan struktur sosial dan ekonomi yang sangat berbeda: revolusi dalam arti yang sesungguhnya. Kelestarian keseluruhan peradaban manusia, akhirnya akan tergantung pada kemampuan kita untuk mengadopsi “sikap yin“ yang diperlihatkan pada dunia mistik di Timur, untuk mengalami alam semesta secara menyeluruh dan memahami seni menata kehidupan yang harmonis di dalamnya”.

Kedua, renungan Bertrand Russell: “Manusia yang paling rasional itu adalah manusia di daerah tropis, yang dengan sabar duduk di bawah pohon pisang menunggu buah jatuh ke mulutnya”.

Ketiga, renungan Edward de Bono: “Saya ragu, apakah teknologi roda ditemukan melalui jalur logika”.

Keempat, renungan Abraham Maslow: “Buku ini (The Psychology of Science) bukan argumen dalam wawasan sains ortodoks; ini merupakan kritik (a la Goedel) terhadap sains ortodoks dan landasan tempatnya berpijak; terhadap butir-butir keyakinan yang tidak teruji kebenarannya, beserta definisi, aksioma dan konsep-konsep yang merupakan isapan jempol belaka. Ini merupakan penyidikan tentang status sains sebagai satu firqah filosofi pengetahuan di antara firqoh filosofi lainnya. Ide yang dikandung dalam buku ini menolak keyakinan tradisional yang tidak teruji seakan-akan sains ortodoks merupakan jalan mencapai pengetahuan, atau bahkan merupakan jalan mencapai pengetahuan, atau bahkan merupakan satu-satunya jalan yang terpercaya. Saya menganggap bahwa dilihat dari segi filosofi dan sosiologi pandangan konvensional seperti itu naif hukumnya”.

Kelima, renungan John Archibald Wheeler: “Nanti, kita akan mengerti keseluruhan alam semesta ini sebagai satu kesatuan pandangan yang teramat mengagumkan dalam bentuk yang luar biasa sederhana dan indahnya, sehingga kita dengan terheran-heran bicara di antara kita: Oh, how could we be so stupid for so long, - mengapa kita begitu dungu dalam waktu yang begitu lama!”

Keenam, renungan Schumacher: “Tidak ada masalah ekonomi, karena masalah ekonomi itu konvergen, dan karena itu tidak pernah ada. Yang ada adalah masalah moral, dan masalah moral tidak konvergen, tidak bisa dipecahkan (dengan logika konvensional). Masalah moral itu divergen, yang harus dimengerti dan dikendalikan dengan dzikir (transcended)”.

Evolusi Inteligensia Manusia Melalui “IQRO”
Disadari atau tidak, evolusi inteligensi manusia berlangsung melalui jalur Iqra, 5 ayat pertama surah Al-’Alaq, yang diwahyukan:

Ayat-1: Baca. Dengan peran serta Nama Rabb yang menciptakan.
Ayat-2: Menciptakan manusia dari ‘Alaq.
Ayat-3: Baca. Dan Ar Rabb yang Maha Pemurah.
Ayat-4: Yang mengajar manusia dengan Pena (Qalam).
Ayat-5: Mengajar manusia mengenai yang tidak diketahuinya.

Ayat-ayat itu sangat sederhana, tetapi kaum muslimin dalam kurun waktu 14 Abad lamanya belum bisa memahami makna ayat-ayat itu, khususnya tidak mengenal apa yang dimaksud dengan pena.

Ketahuilah, bahwa Pena itu adalah segala ciptaan-Nya, seperti air, sungai, udara, gunung, tanah, pohon, hewan, manusia, atom, molekul, bumi, dan seterusnya. Semua Pena itu bisa menulis, dan tulisan itu disebut perilaku yang bisa dibaca oleh manusia. Sesudah manusia mengerti membaca perilaku atau tulisan pena-pena itu, baru manusia menuliskannya dalam bahasa dan cara menulis manusia dalam buku, yang maksudnya untuk mendidik generasi berikutnya agar bisa membaca qalam-Nya dengan mengikuti hasil bacaan generasi terdahulu yang ditulis dalam buku.

Kini sudah banyak sekali buku-buku yang bisa dibaca oleh generasi baru, sehingga mereka dapat mempelajari hasil-hasil bacaan generasi masa lampau, dan dengan demikian dapat lebih cepat dan mantap membaca qalam-qalam Ilahi. Generasi baru, dalam setiap disiplin yang ditekuninya, dalam umur 30 tahun sudah dapat menguasai seluruh khazanah ilmu yang tertulis di buku yang terkumpul dalam periode ratusan atau ribuan tahun.

Sayang, berlimpahnya buku yang bisa dibaca menyebabkan generasi baru sangat kurang apresiatif membaca qalam, karena mengira membaca buku sudah cukup sebagai ganti membaca qalam. Mereka lupa, bahwa “Allah mengajar manusia dengan pena”, dan membaca buku seharusnya diartikan sebagai tahap mempersiapkan diri untuk membaca pena Allah. Tidak bisa dikatakan bahwa membaca buku merupakan alternatif membaca pena.

Membaca pena menumbuhkan potensi inteligensi manusia secara utuh, Al-Fithrah, sedangkan membaca buku hanya menumbuhkan kemampuan rasional akal, yang dikenal sebagai inteligensi rasional atau inteligensi artifisial.

Mereka cenderung tidak bisa membedakan antara pohon dengan buah pikiran, dan bahwa kemampuan rasional bukan pohon, melainkan buah pikiran. Manusia lupa bahwa sumber inteligensi bukan kemampuan rasional, melainkan kemampuan intuitif yang ghaib. Hal ini ditegaskan oleh Einstein dan dikembangkan oleh Edward de Bono. Kesenjangan itu terutama terjadi di negara-negara yang sedang berkembang, dimana tradisi membaca pena belum melembaga, dan IPTEK merupakan mahluk asing yang baru dikenal dari buku dan sekolah-sekolah. Begitulah di negara-negara yang sedang berkembang muncul kelompok cendekiawan yang teramat pinter, tetapi memiliki IQ = 0, karena sesungguhnya, inteligensi artifisial itu tidak memiliki inteligensi! Munculnya generasi seperti itu juga difasilitasi oleh ajaran agama tradisional yang sudah kuat melembaga dalam masyarakat. Barangkali, itulah yang disebut bebalisme intelektual oleh Hussein Alatas.

Dalam situasi seperti itulah saya menulis “Proposal” di tahun 1974, dan kondisi kaum cendekiawan semakin memprihatinkan, meskipun semakin pinter dan semakin banyak, tetapi tetap “memiliki IQ = 0”. Sungguh merupakan keajaiban, bagaimana dalam situasi seperti itu saya bisa mantap melaksanakan proposal yang sifatnya nir-laba, bahkan nir-duit, selama 27 tahun sampai ditulisnya Laporan Akhir ini. Final, sesudah saya menemukan hukum ekivalen massa dan energi, yang sekaligus merupakan tahap awal dalam proses promosi dan sosialisasi menghadapi kaum cendekiawan yang ber-IQ Zero. Itulah Mission Impossible baru yang harus saya jalani, mungkin tidak lebih mudah katimbang Mission Impossible yang sudah saya lalui.

Membaca apa Yang Ditulis Pena versus “Membaca Pena”
Pada tahap pertama, manusia “membaca apa yang ditulis oleh pena secara alami” tanpa melakukan intervensi. Kemudian muncul tahap berikutnya, yakni manusia melakukan intervensi dalam bentuk “stimulus” agar sang pena “menulis apa yang diinginkan oleh pembaca”, suatu kondisi yang dikenal sebagai “eksperimen”. Begitulah, komunikasi dua arah terjadi antara pena dengan pembacanya.

Tahap paripurna terjadi pada waktu manusia “membaca pena”, dan bukan membaca “tulisan pena”. Manusia mulai bertanya, “mengapa pena bisa menulis”, seakan-akan memiliki suatu “daya inteligensi”. Inteligensi yang dimaksud nampak pada pola stimulus-respons yang mempunyai ciri konsisten, akurat dan dapat diulang kembali dengan hasil yang sama. Bahwa benda-benda bisa mengenal stimulus, dapat diartikan bahwa pena itu pun bisa membaca! Sejak awal, manusia dapat membedakan tiga jenis pena yang memiliki tingkat inteligensi yang berbeda, yakni: (i) Mahluk fisik yang memiliki inteligensi primer, (ii) mahluk biologis yang memiliki inteligensi sekunder, dan (iii) manusia yang memiliki inteligensi tersier.

Kini kita tahu bahwa kemampuan pena menulis “sudah tersurat dalam konstitusi dirinya”, misalnya “kemampuan makhluk fisik menulis” ditentukan secara eksak dan akurat oleh sistem elektron orbital yang terdapat dalam atom, molekul, dan kristal. Kita juga tahu bahwa kemampuan “pena biologis menulis” ditentukan oleh “sidik genetik” yang dikandung dalam senyawa yang dikenal sebagai DNA, yang berperan sebagai unsur primer inteligensi hewan, yang pada prinsipnya juga merupakan sistem orbital elektron dalam konstitusi sel mahluk hidup. Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa sistem orbital elektron itulah yang merupakan sumber inteligensi, yang pada tubuh hewan spesies tinggi membentuk suatu sistem inteligensi sekunder yang berpusat di suatu organ tubuh yang disebut otak. Itulah yang biasanya disebut dengan berbagai nama, seperti Inteligensi Digital, Inteligensi Indriyah, Inteligensi Rasional, Inteligensi Sekuler, Inteligensi Artifisial, Inteligensi Mekanik atau Inteligensi Cyborg.

Tahap membaca pena yang paling mutahkir adalah membaca pena yang disebut manusia, ciptaan Allah yang paling sempurna di antara segala ciptaan-Nya. Seperti biasa, pada awalnya manusia hanya membaca “apa yang ditulis oleh pena itu tanpa intervensi”, dan kemudian menyadari bahwa “intervensi dalam membaca tulisan pena (yang bernama manusia)” sangat terbatas, karena bisa dianggap melanggar hak asasi manusia. Meskipun intervensi atau eksperimen itu sangat terbatas, namun manusia tetap bisa melangkah untuk “membaca pena” dan bukan sekedar membaca “apa yang ditulis oleh pena” yang bernama manusia. Mengapa? karena pena itu “dirinya sendiri” !

Pada waktu pembaca “dirinya” itulah manusia terpesona melihat “keajaiban dirinya”, yakni mempunyai tingkat inteligensi yang tidak pernah dilihat dalam dunia fisik dan biologis, karena “pena itu bisa menbaca dan menulis” dan "menulis seluruh peristiwa di bumi dan di langit”, dari peristiwa yang paling elementer ke peristiwa yang paling rumit, seperti membaca gerak elektron dalam medan elektromagnet, atau membaca sidik genetik makhluk hidup sekitarnya. Tulisan manusia bisa saja tidak mempunyai hubungan langsung dengan perilaku, tetapi dengan yang tidak bisa dilihat! Itulah yang dapat disebut sebagai bentuk Inteligensi Tersier, Inteligensi Spiritual, Inteligensi Ruhiyah, Inteligensi Fithriyah. Ada semacam lompatan kuantum inteligensi yang tidak bisa sekedar dilacak dari perkembangan sistem elektron orbital.

Surat Al-‘Alaq tidak berbicara mengenai unsur konstitusi lain kecuali Al-‘Alaq, seakan-akan cermin bahwa manusia harus membaca ‘Alaq lebih dahulu, konsititusi biologis dirinya. Ayat-ayat selanjutnya (ayat 6-19) hanya memperlihatkan betapa anehnya perilaku manusia, dalam arti tidak bisa memahami dirinya hanya dengan membaca pena yang disebut Al ‘Alaq.

Pada beberapa surah yang lain diungkapkan bahwa sesudah Al-‘Alaq berkembang “aku tiupkan Ruh-Ku”, dan berubahlah Al ‘Alaq membentuk sesuatu yang disebut Al-Fithrah. Al-Fithrah itulah yang kiranya mengemban Sistem Inteligensi Tersier yang tidak ada di dunia fisik-biologis, yang dapat mengoperasikan dan mengembangkan Sistem Inteligensi Sekunder dalam bentuk sains dan teknologi. Hewan, yang tidak memiliki sistem inteligensi tersier, terbukti tidak mampu mengembangkan kemampuan sistem inteligensi sekunder.

Evolusi inteligensi terus berlanjut, yang muncul dari hasrat manusia untuk mengenal apa hakikat dari Sistem Inteligensi Tersier, yang dapat berperan menjalankan Sistem Operasi untuk menjalankan Inteligensi Sekunder. Dari pelacakan itu Thomas Kuhn mengajukan hipotesis bahwa Sistem Operasi tersebut adalah paradigma. Konsep paradigma yang dikemukakan oleh Kuhn menimbulkan berbagai perbedaan persepsi yang perlu ditata kembali.

Dalam hal ini, Kuhn kurang jeli melihat bahwa istilah paradigma mungkin berasal dari istilah paradogma, sehingga muncul kesadaran bahwa dogma merupakan semacam kristal pembentuk pikiran yang mempunyai ciri esensial.

Sebenarnya dogma mempunyai ciri “berbutir”, tanpa memiliki hubungan yang jelas di antara dogma yang satu dengan dogma yang lain, sekedar dirangkai melalui mitos dan dongeng-dongeng. Di lain fihak unsur-unsur paradigma mempunyai ciri begitu halus tetapi komprehensif, bisa mengakomodasikan suatu aspek dari pengalaman yang sifatnya universal, seperti misalnya obyektivitas dan rasionalisme. Karena itu masing-masing unsur tidak bisa berdiri sendiri, melainkan membentuk suatu kesatuan struktur yang ditata dengan rapih berdasarkan pengalaman berpikir, khususnya hasil pikiran yang berbentuk sains. Tetapi. dogma dan paradigma mempunyai arti yang sama, yakni berperan sebagai kristal pembentuk pikiran yang dipandang benar dengan sendirinya. Dogma dan paradigma itulah yang tidak ada di dunia binatang, dan itulah kiranya cikal-bakal kemampuan manusia berpikir.

Thomas Kuhn seharusnya juga bisa menghubungkan paradigma dengan konsep a priori Kantian, dan selanjutnya dengan pendirian Plato yang menyatakan bahwa berpikir itu mengingat apa yang sudah ada dalam diri kita. Melalui argumentasi seperti itulah kita bisa memperoleh petunjuk lebih lanjut dari dalam Al-Qur’an, yang menyatakan bahwa Adam telah diberikan pelajaran di Surga, dan Al-Qur’an menyebut dirinya sebagai Al-Dzikir, dalam arti bisa diingat kembali.

Sementara, dapat kiranya disimpulkan bahwa Al-Qur’an itulah yang diajarkan Allah di Surga, dan proses mengajar dalam hal ini dapat diartikan sebagai proses instalasi, dan kiranya itulah makna yang terkandung dalam istilah nuzul. Karena itu, Al-Qur’an dapat diartikan sebagai Sistem Operasi untuk menjalankan Sistem Inteligensi Sekunder.

Perhatikan bahwa: a). istilah Sistem Inteligensi dalam tulisan ini diartikan sebagai hardware, sedangkan Sistem Operasi Inteligensi merupakan software. b). Hardware Inteligensi Tersier adalah Al Fithrah, dan Al-Qur’an berperan sebagai Sistem Operasi untuk menggerakkan Sistem Inteligensi Sekunder. c). Demi kemudahan, Sistem Operasi Inteligensi untuk menjalankan Sistem Inteligensi Sekunder akan disebut sebagai Al-Fithrah, tanpa membedakan antara software dan hardware. Al-Fithrah dapat diaktuasikan melalui Iqra! Sama seperti Sistem Operasi Komputer yang dikenal sebagai DOS/WINDOWS, yang tidak perlu diketahui oleh operator, cukup dikenal melalui latihan menggunakan komputer yang dibimbing oleh operator yang berpengalaman.

Perlu diingat bahwa semula masing-masing kegiatan manusia langsung dihubungkan dengan Sistem Inteligensi Tersier dalam bentuk persepsi manusia yang paling sederhana sesuai dengan sederhananya pikiran manusia pada waktu Al-Qur’an diwahyukan. Justru pada waktu itulah ajaran agama menjadi sangat efektif, karena ada hubungan langsung antara Al-Fithrah dengan Inteligensi Sekunder. Disiplin-disiplin ilmu (“Program Aplikasi”) yang semula berkotak, kemudian secara bertahap menemukan hubungan antar ilmu yang semakin kuat, seperti bagaimana ilmu fisika menyatu dengan ilmu kimia dan biologi pada konsep orbital elektron. Penyatuan antar ilmu difasilitasi oleh perkembangan paradigma yang semakin komprehensif. Hanya sayang, perkembangan itu tidak diimbangi oleh perkembangan pengertian kita mengenai Al-Fithrah. Kesenjangan itulah yang akhirnya menyebabkan terpisahnya antara Al-Fithrah dengan Sistem Operasi Inteligensi Sekunder yang diciptakannya, terpisahnya Agama dengan Sains !

Jelas, misalnya, bahwa yang dimaksud dengan paradigma oleh Kuhn merujuk pada Sistem Operasi Inteligensi Sekunder yang sudah terlepas dari Al Fithrah. Pada tahap inilah kita memerlukan bentuk eksplisit dari Al-Fithrah, sehingga pemisahan itu bisa dicegah.

Dalam Al Qur’an ada dua surah yang istimewa, yakni Al Muzammil (73) dan Al Mudatsir (74) yang masing-masing mengandung makna sebagai “(Muhammad/Al Fithrah) Yang Berselimut” dan (Muhammad/Al Fithrah) Yang Berkerudung”, dan istilah “Muhammad” dapat diartikan sebagai rujukan kepada Al-Fithrah, dan petunjuk bahwa Fithrah manusia terbungkus oleh Al Muzammil dan Al Mudatsir yang harus dibuka. Mungkin hal ini ada hubungannya dengan risalah operasi membuka Al Fithrah yang dilakukan oleh para Malaikat sebelum Rasulullah menerima wahyu. Perhatikan pula bahwa Al Muzammil, Al Mudatsir dan Al-Qiyaamah berurutan (73, 74 dan 75), seakan-akan kias bahwa Kebangkitan itu akan terjadi sesudah manusia berhasil membuka Al Muzammil dan Al Mudatsir yang menutupi Fithrahnya. Dalam Surah Al Muzammil dapat dilihat bahwa “selimut qalbu” dapat dibuka dengan shalat, dan dalam Surah Al Mudatsir” kerudung akal” dapat dibuka dengan angka “19”, yakni kias mengenal makna yang tersembunyi dalam konstruksi Al-Qur’an, yang tidak lain daripada Sistem Operasi yang bisa menjalankan Inteligensi Sekunder.

Nampak kemudian bahwa Al Muzammil itu kias Selimut Qalbu, dan Al Mudatsir kias Kerudung ‘Akal, petunjuk bahwa akal merupakan sintesis antara Ruh dengan konstitusi biologis, khususnya Sistem Inteligensi Sekunder yang berpusat di otak, sumber kemampuan rasional, yang sebaiknya sejak awal kita sebut sebagai Inteligensi Artifisial atau Intelingensi Indriyah yang sedikit banyak mempunyai analogi dengan sistem komputer.

Paradigma merupakan eksistensi yang ghaib, sehingga hanya bisa dimengerti melalui ajaran yang tersembunyi dalam Al-Qur’an. Dan dengan kias membuka Al Muzammil dan Al Mudatsir itulah kita bisa mengenal Al-Fithrah, dan karena itu bisa mendayagunakannya secara optimal sebagai Sistem Operasi untuk menjalankan dan mengendalikan Sistem Inteligensi Sekunder. Mungkin saja Inteligensi Sekunder sudah dilengkapi dengan Sistem Operasi Antara yang dapat dipandang sebagai bagian dari Sistem Inteligensi Sekunder, tetapi tetap menyatu dan dikendalikan oleh Al-Fithrah yang menjadi induknya. Sistem Operasi Antara itulah yang dimaksud oleh Kuhn dengan istilah paradigma, dan karena itu mengandung arti sekular.

Polarisasi Sekular-Agama dan Kiat Merancang Sintesis
Mari kita kembali ke Surah Al-‘Alaq, dan mencoba menuliskan ayat Iqra secara komprehensif, yang berbunyi:

Baca apa yang ditulis oleh Pena-Ku, dan kemudian bacalah pena itu agar engkau tahu apa yang bisa ditulis oleh pena Ku (Al-Fatihah), dengan menggunakan Al-Qur’an sebagai Sistem Operasi Inteligensi, agar engkau bisa berperan sebagai mahluk kreatif menjalankan fungsi sebagai hamba dan khalifah-Ku di bumi. Nanti, engkau tahu bahwa Al-Qur’an itu sudah diinstalasikan ke dalam Fithrahmu, sehingga bisa engkau ingat kembali melalui Iqra dan Dzikir. Tentu, Al-Qur’an yang sudah ditulis berbentuk buku akan sangat memudahkan proses mengingat kembali”.

Saya melihat bahwa polarisasi Sekular-Agama merupakan akibat salah interpretasi mengenai Iqra. Sekularisme merupakan simptom yang berkaitan dengan tradisi Rusydian yang diadopsi oleh Barat, yakni membaca qalam tanpa petunjuk Al-Qur’an, dan muncullah kesengajaan pikiran yang disebut Tahafut al Falasifah oleh Ghazali. Kaum Muslimin membaca Al-Qur’an tanpa membaca qalam, atau membaca qalam sekedar sebagai penerapan tafsir Al-Qur’an, dan muncullah kesenjangan pikiran yang sebut Tafafut al Tahafut oleh Ibn Rusyd. Polarisasi seperti itu terus berlanjut, berkembang-biak, seperti munculnya polarisasi Timur-Barat, kapitalisme-sosialisme, syari’ah-thariqah, Sunni-Syi’ah, dan seterusnya.

Perjuangan yang saya jalani dengan penuh pengabdian memperoleh hasil melebihi yang saya harapkan semula, bukan hanya dapat belajar dari teori Einstein, melainkan juga berhasil menyatukan teori Einstein dengan teori kuantum, dan lebih lanjut membuka peluang untuk mengenal Konstruksi Al-Qur’an sebagai Sistem Operasi Inteligensi Fithrah atau Sistem Operasi Inteligensi Spiritual. Itulah kiranya makna Al Hadist yang menyatakan bahwa “Agama itu akal” dan itulah persis yang lenyap dari dunia agama!

Tugas saya selanjutnya sederhana sekali, yakni bagaimana membunyikan genta, atau dalam bahasa Hemingway membiarkan genta berbunyi (for Whom the Bell Tolls), cukup kuat agar didengar oleh orang lain. Sayang, rupanya genta yang saya bunyikan mengeluarkan frekuensi yang berada di luar pendengaran manusia modern, karena gendang telinga mereka sudah ditala dengan frekuensi musik rock dan metal.

Hanya Allah semata yang bisa mengatasi masalah seperti itu. Barangkali saya sudah berperan cukup baik selama 27 tahun. Sejauh pemahaman yang berhasil saya kuasai. Pada tahap ini saya hanya bisa berdo’a dan berdo’a, semoga Allah memberikan petunjuk serupa kepada yang lain, dan memaafkan…..”

Antara Kesulitan dan Kemudahan
Mungkin Anda mempunyai kesan bahwa yang saya tulis terlalu sulit untuk disimak oleh mayoritas kaum intelektual. Itulah masalahnya, karena masalah yang kita hadapi memang sulit, apalagi karena kita dididik melalui IPTEK yang berkembang di Barat yang dapat dibuktikan tidak kompatibel dengan ajaran Al-Qur’an. Bahwa kini Anda tidak merasakan hal itu, merupakan bukti bahwa pikiran Anda sudah salah arah. Untuk meluruskannya kembali terpaksa Anda harus menghadapi kesulitan-kesulitan.

Tetapi, bukankah Al-Qur’an mengajarkan “sesudah kesulitan datang kemudahan”, yang diulang dua kali pada Surah Al Inshirah (94:5,6). Kita ingin mudahnya saja membaca buku tanpa membaca qalam. Memang cepat, tetapi hasilnya nihil. Benar, apa yang saya ungkapkan tidak ada dalam buku-buku Barat, karena itulah kelemahan Barat yang wajib kita perbaiki, bukan demi keuntungan Barat, melainkan demi kemaslahatan bagi kita yang ditindas oleh kekuasaan Barat yang keblinger itu, yang kita ikuti dengan taqlid! Ya, begitulah ciri inteligensi artifisial, Inteligensi Digital!

Pada tahap perkembangan inteligensi digital dewasa ini tidak ada jalan lain bagi manusia, kecuali berjuang untuk menemukan kembali Inteligensi Spiritual yang bisa diakses oleh Inteligensi Digital. Itulah perjuangan yang dilukiskan pada buku ini, dan memang tidak mudah. Tiada yang mudah bagi manusia, kecuali sesudah menemukan solusi menghadapi kesulitan-kesulitan, karena kesulitan ini merupakan ujian bagi manusia. Bentuk Inteligensi Spiritual yang bisa diakses oleh Sistem Inteligensi Digital yang berkembang dalam bentuk IPTEK dewasa ini, ternyata disimpan oleh Sang Pencipta dalam Konstruksi Al-Qur’an. Itulah penemuan abadi sepanjang jaman, tonggak evolusi mengawali terwujudnya Milenium Ketiga sebagai Era Kebangkitan.


Dikutip dari buku: Inteligensi Spiritual, Inteligensi Manusisa-manusia Kreatif, Kaum Sufi dan Para Nabi, oleh Dr. Hidayat Nataatmadja (hal. 1-14), Jakarta, Intuisi Press, 2003

Relatek books : The Unity of Science and Religion, edited by Mohammad Ilyas. Science and Religion : What You Were Never Told, by Dr. Kasem Khaleel/Ingram/Ajram.

4 comments:

Anonymous

Hello !.
You may , perhaps very interested to know how one can manage to receive high yields .
There is no need to invest much at first. You may commense to receive yields with as small sum of money as 20-100 dollars.

AimTrust is what you need
AimTrust incorporates an offshore structure with advanced asset management technologies in production and delivery of pipes for oil and gas.

Its head office is in Panama with affiliates everywhere: In USA, Canada, Cyprus.
Do you want to become a happy investor?
That`s your chance That`s what you wish in the long run!

I`m happy and lucky, I began to get real money with the help of this company,
and I invite you to do the same. It`s all about how to select a proper partner utilizes your funds in a right way - that`s it!.
I make 2G daily, and my first deposit was 1 grand only!
It`s easy to get involved , just click this link http://dinoxokiw.1accesshost.com/izawyqi.html
and go! Let`s take this option together to get rid of nastiness of the life

Anonymous

Good day !.
You re, I guess , probably curious to know how one can manage to receive high yields .
There is no need to invest much at first. You may start to receive yields with as small sum of money as 20-100 dollars.

AimTrust is what you haven`t ever dreamt of such a chance to become rich
AimTrust represents an offshore structure with advanced asset management technologies in production and delivery of pipes for oil and gas.

It is based in Panama with offices around the world.
Do you want to become an affluent person?
That`s your choice That`s what you wish in the long run!

I feel good, I started to take up income with the help of this company,
and I invite you to do the same. If it gets down to select a correct partner who uses your money in a right way - that`s AimTrust!.
I earn US$2,000 per day, and my first deposit was 1 grand only!
It`s easy to start , just click this link http://ehawipew.kogaryu.com/jupyru.html
and lucky you`re! Let`s take our chance together to become rich

Anonymous

Good day, sun shines!
There have been times of troubles when I didn't know about opportunities of getting high yields on investments. I was a dump and downright pessimistic person.
I have never thought that there weren't any need in big initial investment.
Nowadays, I feel good, I started take up real income.
It gets down to select a proper partner who uses your funds in a right way - that is incorporate it in real deals, and shares the profit with me.

You can get interested, if there are such firms? I'm obliged to tell the truth, YES, there are. Please get to know about one of them:
http://theblogmoney.com

Anonymous

Hi!
You may probably be very curious to know how one can make real money on investments.
There is no initial capital needed.
You may begin to get income with a sum that usually goes
for daily food, that's 20-100 dollars.
I have been participating in one company's work for several years,
and I'll be glad to share my secrets at my blog.

Please visit my pages and send me private message to get the info.

P.S. I earn 1000-2000 per day now.

[url=http://theinvestblog.com] Online investment blog[/url]

Blogger template 'Darkness Fall' by Ourblogtemplates.com 2008