Sunday, January 01, 2006

Indahnya Kehidupan

Saya teringat ketika masih remaja dan tinggal di sebuah desa yang masih sangat asri dengan lingkungan kehidupan pergaulan yang sangat sederhana. Tetangga saya - yang sebagiannya notabena berbeda agama, berbeda suku, berbeda lingkungan pergaulan - namun menunjukkan suatu keabraban yang sangat menarik. Bukan saja karena kami tinggal di lingkungan dimana berbagai macam tumbuh-tumbuhan hidup dengan subur, yang menambah segarnya hidup kami sehari-hari, melainkan juga karena hubungan antar tetangga berjalan dengan sangat akrab dan jauh lebih personal.

Ketika lebaran tiba, misalnya, meski saat itu tak jarang terjadi perbedaan kapan dimulainya lebaran (seringkali antara Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama meyakini awal lebaran yang berbeda), namun hal itu tak mengurangi makna dalam bertetangga. Ada satu tradisi yang menarik, yang hingga kini masih membekas di benak saya. Ibu saya, yang memang suka memasak, seringkali menyiapkan makanan khas lebaran, seperti ketupat lengkap dengan sambal goreng hati, rendang daging dan sayur lodeh, serta berbagai macam panganan lainnya. Tak ketinggalan, tape ketan hitam yang jumlahnya bisa ratusan bungkus. Semua itu, tidak hanya untuk persediaan di rumah ketika hari "H" lebaran tiba. Tetapi, biasanya, sehari menjelang lebaran, sebagian makanan itu Ibu berikan ke para tetangga, tak peduli agamanya apa, sukunya apa, asalnya darimana. Yang penting, tetangga dekat yang berada di sekitar rumah yang kami tinggali, akan mendapatkan makanan itu. Istilahnya, punjungan.

Sebaliknya, ketika ada tetangga saya yang lain, yang merayakan hari raya mereka, misalnya Natal dan Tahun Baru, Imlek, atau Dipawali, seringkali mereka pun mengirimkan bermacam-macam makanan dan kue-kue yang khas. Bukan itu saja, kami juga saling berkunjung satu sama lain, tanpa sedikit pun dibebani oleh pikiran, pandangan atau persepsi bahwa kami ini berbeda. Ya, kalau shalat saya melakukannya di mesjid di depan rumah saya. Sebaliknya, mereka pun melakukan kegiatan ibadah mereka di tempat mereka masing-masing, ada yang di Kelenteng, dan ada yang di Gereja.

Hidup yang warna-warni, baik perilaku maupun lingkungan, kebiasaan dan, bahkan, agama, tak menyurutkan untuk upaya membangun harmoni di antara sesama. Perbedaan agama dan keyakinan tak pula harus memunculkan sikap dan perilaku yang saling memusuhi. Dan, mestinya, kesadaran akan keberbedaan itu, pada saat yang sama, justru semakin memperkaya khazanah kehidupan dan pengalaman kita.

Tetapi, memang, hal itu hanya mungkin bila tidak ada upaya-upaya yang secara sengaja dilakukan untuk "mengintervensi" satu sama lain dengan keyakinan masing-masing itu. Keyakinan yang berbeda-beda itu, bukan pada saat yang sama, dijadikan sebagai alat untuk mendorong orang lain harus meyakini suatu keyakinan yang sama. Melainkan, akan sangat indah jika hal itu dipandang sebagai suatu realitas yang sangat disadari keragamannya. Yang justru sangat penting adalah, bagaimana dalam lingkungan yang beragam itu muncul suasana harmoni, yang memberi nuansa keragaman, tapi tidak diikuti oleh keinginan-keinginan tertentu untuk menyamakan semua itu, sehingga justru menghilangkan makna keragaman yang ada itu.

Saya teringat ketika Paman saya, H. Abdul Syukur, yang memang lebih dikenal di lingkungan keluarga sebagai orang yang memahami agama, yang disebut Kiyai, bertutur: "Jangan pernah manusia berpikir untuk menyatukan agama semua ummat manusia di dunia ini, karena Tuhan sekalipun, sebagaimana wahyuNYA dalam Al-Qur'an yang mengatakan bahwa kalau Allah menghendaki, niscaya semua manusia di muka bumi ini dapat dijadikannya satu ummat saja.

"Dan, kami telah menurunkan kepadamu (Muhammad) Kitab (Al-Qur'an) dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya dari Al-Kitab dan menjadi kesaksian atasnya. Maka, hukumkanlah di antara mereka dengan apa Allah turunkan, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka (dengan meninggalkan) kebenaran yang telah datang kepada engkau. Bagi tiap-tiap ummat di antara kamu, Kami telah jadikan peraturan dan jalan (yang terang). Dan, kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNYA satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu tentang apa yang telah diberikanNYA kepada kamu, maka berlomba-lombalah kamu berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah tempat kembali kamu sekalian, maka Dia akan kabarkan kepadamu apa yang kamu perselisihkan itu." Al-Qur'an (5:48)

Tapi, Tuhan tidak melakukannya. Sebaliknya, ia memberikan kesempatan kepada manusia, yang karena sejak awalnya manusia itu sudah membuat suatu perjanjian dan pengakuan yang kokoh atas Ke-Esa-an dan Kekuasaan Allah (fitrah), dan tugas selanjutnya manusialah yang harus bisa membuktikan makna perjanjian itu. Apakah ia masih bersiteguh dengan perjanjian fitri itu, atau justru sebaliknya, mengabaikan atau mengingkarinya.

Bahkan, kepercayaan Allah terhadap manusia itu termanifestasi dalam bentuk bahwa manusia memiliki semua kapabilitas dan perangkat di dalam dirinya untuk menyadari siapa dirinya, mengapa dan mau ke mana dirinya akan menuju, yang semua itu sangat memungkinkan dia bisa menyadari makna perjanjian itu secara utuh. Ketika iblis meminta persetujuan akan hidup di dunia hingga akhir zaman guna mengganggu fokus manusia untuk sampai kepada nilai-nilai kefitrian itu - karena ia menyeret manusia sebagai bagian dari pembangkangannya, Allah tetap mengabulkannya. Hal itu, tentu akan sangat bermakna memberitahukan kepada kita bahwa manusia sesungguhnya memiliki kekuatan di dalam dirinya untuk menempuh "jalan lurus".

Dan, kalau pun pada akhirnya jalan berbelok yang ditempuhnya, maka itu lebih merupakan pilihan-pilihan yang dilakukannya sendiri, yang konsekuensinya dia harus bersedia mempertanggungjawabkan semua itu. Itulah makna bahwa perjalanan manusia di dunia, yang dalam agama diyakini bahwa "jika jalan yang ditempuhnya benar maka hal itu akan membawanya pada kehidupan akhir yang lebih baik dan panjang, serta penuh kenikmatan".

Namun, jika sebaliknya, maka yang akan ditemuinya adalah kesengsaraan, mungkin sudah dimulainya ketika di dunia dan mungkin juga di hari akhir kelak. Dan, itu semua merupakan pilihan-pilihan yang diambil dan ditempuh manusia. Pilihan itu, dia lakukan sendiri dan bukan ditakdirkan. Kecuali, jika ia sama sekali tidak menggunakan kemampuan tertinggi yang telah dimilikinya itu untuk mengakui kebenaran dari Tuhannya.

Masalah keyakinan merupakan sesuatu yang sangat dalam, yang sesungguhnya itu lebih sebagai upaya untuk kembali pada fitrah atau perjanjian asasi antara manusia dengan Allah. Hanya saja, tak jarang karena kebodohan kita sendiri (terlebih-lebih kalau hanya menerima keIslaman kita semata-mata karena dilahirkan dalam suatu keluarga muslim) yang tidak berupaya untuk memahami nilai-nilai fitrah itu secara lebih baik dari hari ke hari, yang tak membuat kita sungguh-sungguh memiliki sesuatu yang kita yakini kebenarannya. Bisa juga, karena ketidakperdulian kita dan menerima kenyataan lahir dan besar dalam lingkungan keluarga muslim dan menjadi "given", tanpa upaya untuk memilikinya secara sesungguhnya.

Tanpa upaya yang sungguh-sungguh ke arah itu, maka seringkali menimbulkan suatu keraguan, sehingga pergaulan dalam keragaman akan dijadikan sebagai suatu kondisi yang memungkinkan seseorang berpaling dari kebenaran itu. Hanya saja, kalau manusia (terutama orang tua) bisa mempercayai (tentu setelah melalui proses panjang yang kondusif untuk itu) manusia lainnya (baik anak, keponakan maupun lainya), maka yang terjadi adalah suatu kondisi yang semakin kondusif, tak saling menyalahkan.

Persoalannya, sudahkan kita melakukan yang terbaik buat diri kita, keluarga kita, sebagaimana dinasehatkan pada kita, "Jagalah dirimu, keluarga dan sanak saudaramu dari api neraka? Kalau belum, jangan coba menyalahkan atau bahkan membenci orang lain, siapa pun dia. Karena, yang paling asasi adalah "Bukan membuktikan kebenaran Islam dan Al-Qur'an, melainkan sesungguhnya adalah membuktikan bahwa kita, termasuk saya, benar-benar mengakui kebenaran Islam dan menjalankan nilai-nilai kebenaran itu secara baik.

Dengan begitu, keragaman yang faktual dalam kehidupan kita di dunia merupakan sesuatu yang memang ada dan diakui keberadaanya. Dalam kaitan itulah, Islam yang universal akan mengambil tempat yang sebaik-baiknya dan memberikan makna kemaslahatan yang paripurna bagi seluruh ummat manusia, baik muslim maupun tidak. Alangkah indahnya ketika dalam keragaman, baik etnis maupun keyakinan itu, muncul nilai-nilai universal yang memberikan kebaikan bagi semua, karena nilai-nilai Islam pastilah merupakan nilai-nilai universal kemanusian dan alam sejagat, dan bukan sesuatu yang bertentangan dengan itu.

0 comments:

Blogger template 'Darkness Fall' by Ourblogtemplates.com 2008