Monday, February 06, 2006

Belajar dari Guiderdoni dan Hidayat

Setahun yang lalu (Januari 2005), saya menemukan sebuah buku yang sangat menarik, judulnya "Membaca Alam, Membaca Ayat", yang ditulis oleh Dr. Abd-al-Haqq Bruno Guiderdoni. Buku yang diterbitkan (terjemahan Indonesianya) oleh penerbit Mizan itu, memuat sejumlah tulisan dan wawancara Dr Guiderdoni mengenai pandangannya terhadap sains modern dan Islam, yang benar-benar mampu memberikan pencerahan. Sebagai pakar sains astrofisika, Guiderdoni juga mengepalai sebuah lembaga kajian-kajian lanjut mengenai Islam (Islamic Institute for Advanced Studies) di Paris, Perancis. Lembaga ini pula yang menyiapkan program-program penyiaran (salah satunya acara TV) mengenai pengenalan Islam bagi masyarakat Eropa, khususnya Perancis.

Guiderdoni dikenal luas di kalangan pakar astrofisika dunia, terutama karena keterlibatannya yang dalam terhadap bidang keilmuannya itu. Belakangan, setelah masuk Islam (kurang lebih 19 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1987, yang menurut pengakuannya telah melalui suatu perjalanan spiritual yang cukup panjang), Guiderdoni seperti mendapatkan apa yang selama ini dicarinya. Kepakarannya dalam bidang sains - suatu bidang yang selama ini sangat diagung-agungkan oleh ummat manusia sejagat - yang membuatnya memahami banyak hal mengenai sains, juga membuatnya sampai pada suatu kesimpulan bahwa pencarian sains masa kini dianggapnya telah mentok. Banyak hal yang, selama ini ingin dijelaskan sepenuhnya dengan mengandalkan sains, terbukti tidak dapat dijelaskan, jika hanya mengandalkan apa yang disebut sains itu sendiri.

Dia merasakan bahwa pencariannya, kalau hanya mengandalkan sains yang bertumpu pada rasionalitas, akan berhenti dan tak menemukan jawaban-jawaban yang diinginkan para pakar sains pada umumnya, termasuk dirinya. Dan, saat itulah ia semakin menyadari bahwa pencariannya tak bisa berhenti hanya sampai di situ, melainkan diperlukannya suatu pencarian yang lebih jauh, yang lebih bisa menjelaskan, dan itu dilihatnya lebih pada pencarian religius. Masalahnya bukan pada bahwa dia memilih Islam sebagai tempat berlabuh pencarian religiusnya, melainkan justru di Islamlah ia menemukan laut dalam tiada tara yang diharapnya, yang mampu memberikan jawaban-jawaban yang selama ini dicarinya.

“Saya menemukan jalan saya dalam Islam, meskipun, sebagaimana Anda tahu, Islam kini tengah dirundung banyak masalah terutama oleh faham fundamentalis yang cenderung menggunakan kekerasan. Tentu saja, ada banyak hal berharga dalam Islam dan banyak kemungkinan untuk sebuah kehidupan spiritual,” ujar Guiderdoni saat mengakui makna pertemuannya dengan Islam.

Saya mengagumi Guiderdoni, bukan semata-mata karena ia seorang pakar astrofisika kelas wahid, yang kalau membicarakan sains, terutama di bidangnya, jelas sangat memiliki otoritas yang sangat kuat. Namun, pertemuannya dengan Islam, yang lebih didasarkan pada tataran nilai-nilai yang dikandung Islam dan bukannya realitas sosial, ekonomi maupun politik kekinian yang dihadapi umat Islam, justru semakin memperlihatkan bagaimana Guiderdoni mampu melihat nilai-nilai esensial ajaran Islam yang sangat dalam. Bukan sesuatu yang hanya ada di permukaan, atau sesuatu yang secara nyata dipraktikkan oleh masyarakat Islam di dunia, melainkan nilai-nilai sesungguhnya yang harus diperjuangkan. Bagi Guiderdoni, keIslamannya lebih ditunjukkan pada munculnya suatu perimbangan yang sangat kuat dalam dua arah pencariannya – sains dan religiusitas – yang diakuinya sangat sejalan.

“Pada abad ke-19, sains berharap bisa menjawab semua pertanyaan. Sains modern, memang, sangat berhasil dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana suatu mekanisme segala hal. Namun, hal itu mulai tidak memuaskan pertanyaan, Mengapa segala sesuatu berlaku seperti ini?”, aku Guiderdoni.

Dia melihat bahwa kemajuan sains Barat, yang dikembangkan semata-mata hanya dengan mengandalkan rasionalitas (sekularisasi) memang berhasil membawa dunia dan kehidupan manusia seperti sekarang ini. Namun, dia yakin bahwa dimensi kebenaran tak hanya bertumpu pada adanya atau digunakannya rasionalitas itu saja, yang tebukti sudah mentok. Melainkan, diperlukannya suatu dimensi pencarian kebenaran yang berbasis kontemplatif, yang sebagaimana diyakini Guiderdoni saat ini, bersumber pada keyakinannya terhadap agama – yang dipilihnya Islam. Perpaduan rasionalitas dan kontemplasi dianggapnya akan memberikan sesuatu yang lebih baik ke depan, dalam artian adanya dimensi pencarian kebenaran yang lebih bisa menjelaskan. Rasionalitas hanya merupakan salah satu jalan menuju pencarian kebenaran, tetapi kontemplasi, yang berdasarkan pemahaman terhadap nilai-nilai religiusitas, yang dalam hal ini didasarkannya pada nilai-nilai Islam, memberinya suatu titik pijak yang semakin kokoh.

Dia menegaskan, bahwa metoda sains memang sangat efisien dalam meningkatkan pengetahuan manusia tentang alam semesta. Banyak hal yang hingga kini telah mampu dijelaskan, yang sebagiannya malah mampu diambil manfaatnya bagi kehidupan ummat manusia. Namun, kita tidak mampu mengatakan bahwa suatu teori itu benar, atau mungkin benar, atau salah, atau mungkin salah. “Itulah sebabnya saya amat tidak puas dengan kegiatan ilmiah yang saya lakukan,” aku Guiderdoni. Dan, itu pula yang membawanya pada pencarian religius, yang pada akhirnya membuatnya bertemu dengan Islam dan terbukti menjadikannya sangat bergairah menghadapi pencariannya melalui jalur sains hingga kini.

Dengan kenyataan seperti itu, dia merasa menemukan batu pijakan yang sangat kuat atas pencarian rasionalnya, yang diimbangi dengan nilai-nilai kontemplatif yang mendapatkan rujukannya dari “nilai-nilai kebenaran” yang datang dari “Yang Maha Benar”. Dalam kaitan itu pula, Guiderdoni semakin memiliki dasar-dasar yang sangat kuat bahwa pencarian ilmu pengetahuan atau sains bukanlah sesuatu yang semata-mata atau, bahkan, sama sekali “bebas nilai”, sementara nilai-nilai diurus tersendiri oleh yang namanya agama, yang selalu dilihat sebagai “wilayah personal yang bersifat privat”.

Sebaliknya, dia melihat justru sains mestinya membawa nilai-nilai yang memberikan jawaban terhadap “kemaslahatan terbesar” ummat manusia dan bukan sebaliknya. Pencapaian sains, pada saat yang sama, mestinya harus pula membawa pada pencapaian religiusitas atau spiritualitas yang tertinggi, selain pencapaian rasionalitas. Sehingga, dalam pandangan Guiderdoni, tidak ada suatu keterbelahan antara pencapaian sains yang sangat rasional dengan pencapaian religius yang sangat kontemplatif. Keduanya merupakan jalan yang sama untuk menuju Tuhan.

Dengan begitu, pencapaian rasionalitas manusia yang tertinggi itu, tidak kemudian menghilangkan realisasi spiritualnya di dunia. Manusia tidak dapat begitu saja merusak tatanan kehidupannya di dunia, hanya semata-mata karena alasan-alasan rasional, seperti demi pengembangan sains, misalnya. Melainkan, justru sebaliknya, manusia harus memiliki suatu tanggungjawab yang penuh untuk mencapai penemuan sains yang tertinggi, dan pada saat yang sama membawa manusia pada pencapaian tertinggi pula dalam nilai-nilai kemanusiaannya.

Dalam pandangannya, pencapaian sains Barat yang selama ini dialaminya hanya dilihat sebagai suatu bentuk yang sangat piawai dalam menggunakan nalar manusia, namun sepertinya melupakan, atau sama sekali tidak memiliki kecerdasan lainnya, yang oleh filosof Abad Pertengahan disebut sebagai “intelek”, yakni kemampuan untuk merenungkan suatu kebanaran. Dan, jalurnya bukan melalui rasionalitas, melainkan kontemplasi.

Saya jadi teringat dengan pencarian Dr. Hidayat Nataatmadja, seorang pakar ekonomi pertanian dari IPB, yang telah menulis sejumlah buku, salah satunya yang pamungkas berjudul Inteligensi Spiritual”. Hidayat berhasil membongkar habis-habisan akar-akar sains Barat, yang dianggapnya telah memisahkan akar-akar nilai yang seharusnya ada dalam sains, sebagaimana ditunjukkan oleh pakar-pakar Islam di masa lalu. Hidayat terbukti berhasil menemukan suatu “peta jalan" (roadmap) untuk menempuh jalan perjuangan membangun sains-sains yang Islami, yang tidak memisahkan antara nilai-nilai dasar yang dipesankan Islam dengan perjuangan rasional di dunia ilmiah. Disadari, jalan itu tidak mudah. Namun Hidayat sangat meyakini, sebagaimana juga dialaminya sendiri, bahwa setelah kesulitan yang berat selalu ada suatu kemudahan yang luar biasa.

Dengan begitu, Hidayat meyakni, sebagaimana juga Guiderdoni, bahwa berilmu pengetahuan yang tertinggi sekalipun tidak, pada saat yang sama, melahirkan pengingkaran yang terdalam terhadap nilai-nilai kebenaran (Islam). Artinya, berjuang di jalur sains atau ilmu pengetahuan, memiliki nilai-nilai pijakan yang sama dengan berjuang di jalur religius. Karena, keduanya bukanlah sesuatu yang terpisah, melainkan yang satu (religiusitas Islam) menjadi pijakan yang sangat kokoh bagi berdirinya suatu perjuangan pencarian yang lain, yakni sains (rasionalitas).

Hal itu jelas sangat berbeda dengan apa yang kita alami saat ini, meski mungkin Guiderdoni tidak seradikal itu dalam membongkar “ketidakmampuan” sains modern dalam menjawab berbagai pertanyaan yang diajukannya. Dalam hal inilah, tampaknya Hidayat lebih mempunyai akar yang kokoh dalam memperjuangkan apa yang disebutnya sebagai sains yang Islami, yang secara konseptual telah ditemukannya. Perjuangan berikutnya adalah bagaimana membangun sains-sains spesifik, misalnya ekonomi, psikologi, sosial, politik dan sebagainya, namun dengan suatu landasan yang jelas, yang berpijak pada nilai-nilai dasar Islam.

Sains Islami (dalam istilah Guiderdoni Sains yang religius) yang dimaksud - bukan seperti yang banyak disalahmengerti oleh banyak orang, bahkan para pakar sains modern - adalah suatu sains yang berlandaskan pada suatu nilai-nilai (dan bukannya bebas nilai). Karena, sains sendiri memang tak mampu membenarkan "nilai-nilai kebenarannya sendiri". Dalam pandangan Hidayat, pembenaran obyektif harus berpasangan (bukannya justru dihilangkan) dengan pembenaran subyektif, yang bersumber pada suatu keyakinan dan pemahamannya terhadap nilai-nilai esensial, yang dalam hal ini ditunjukkan oleh Islam (Al-Qur'an).

Namun, perjuangan itu tidak kemudian melahirkan apa yang disebut sebagai sains Islam atau teknologi Islam, atau bahkan yang lebih absurd, mobil Islam. Simbolisasi yang berlebihan semacam ini justru tak membuatnya lebih baik, karena seolah-olah makna universalitas ajaran Islam menjadi sangat eksklusif diperuntukkan bagi ummat Islam, dan bukannya bagi alam semesta, termasuk manusia. Sains Islami lebih merujuk pada bagaimana sains dikembangkan dengan suatu nilai-nilai yang akarnya berbasiskan pada nilai-nilai yang dibawa Islam, yang dengan itu hampir tak mungkin seseorang yang memahami sains (yang Islami) hanya mengandalkan rasionalitas bebas nilai, yang hampa.

Pengembangan sains, menurut Hidayat, pasti akan sampai pada suatu kesadaran terhadap jatidirinya sebagai manusia - siapa dia, mau ke mana dan mengapa dia ada di dunia ini dan untuk apa semua itu. Apa makna yang diajarkan Islam mengenai nilai ibadah dalam setiap perjuangannya di dunia ini dan, yang lebih penting lagi, adalah apa sesungguhnya peran dirinya sebagai "khalifah" di dunia. Pertanyaan-pertanyaan yang selama ini, boleh dikata, dinafikan oleh pakar sains modern, karena akarnya lebih pada sekularisasi yang memisahkan rasionalitas dan nilai-nilai agama, terutama dalam sains.

Dalam pengertian sains yang Islami ini, berIslam dan berSains, merupakan suatu perjuangan yang sama, bukan yang bertolak belakang. Atau, yang selama ini dicoba-satukan cukup dengan mengatakan bahwa saya “tetap Islam”, tetapi saya berpengetahuan (sains) modern. Menurut Hidayat, bukannya tidak cukup, tetapi hal itu tidak mungkin untuk menyatukannya.

Bagi Hidayat, menyatukan yang ada saat ini, hampir tidak mungkin, kecuali membangunnya kembali dengan meletakkan dasar-dasar nilai (paradigma) sains modern, yang selama ini bebas nilai, menjadi sains yang berbasis pada nilai-nilai ilahiah (Islam) yang fitri. Dengan begitu, sains akan berdiri kokoh karena ditopang oleh nilai-nilai ilahiah yang kokoh juga, sehingga tidak ada pembelahan, karena ia merupakan suatu bangunan yang sama, yang saling melengkapi.

Kalau Guiderdoni menyadari ketumpulan Sains modern dari perjalanan pencariannya di dunia sains, yang membawanya pada kesimpulan diperlukannya landasan nilai-nilai religius (kontemplatif), sebaliknya Hidayat, melalui perjuangan yang cukup panjang, berhasil menemukan peta jalan menuju suatu Sains yang Islami. Sains yang diharapkannya mampu memberikan solusi bagi ummat manusia, dan bukannya hanya ummat Islam, karena sesungguhnya Islam diturunkan untuk kepentingan dan keselamatan ummat manusia di bumi, dan di hari akhir kelak. Hidayat juga berharap, bahwa peta jalan yang ditemukannya itu kiranya dapat dijadikan landasan bagi pembangunan sains yang lebih menyegarkan, yang akan memungkinkan ummat manusia bisa membangun kemanusiaannya yang hakiki (fitrah) sambil menjadikan dirinya sangat modern dan rasional, serta menjadikannya khalifah di muka bumi.

Karenanya, layaklah kalau kita semua, termasuk para pakar sains modern, harus belajar banyak dengan kedua pakar ini - Dr. Abd-al-Haqq Bruno Guiderdoni dan Dr. Hidayat Nataatmadja! Insya Allah.

Mengenai Abd-al-Haqq Bruno Guiderdoni: Ia menyelesaikan studi Fisika dan Astrofisikanya di Universitas Paris, dan memperoleh PhD tahun 1986. Sejak 1988, ia bekerja di Paris Institute of Astrophysics yang didukung oleh French National Center for Scientific Research (CNRS). Penelitian utamanya mengenai observasi kosmologi dan, lebih spesifik lagi, mengenai evolusi dan pembentukan galaksi, dan hingga kini telah menghasilkan dan menerbitkan lebih dari 80 kertas kerja dan mengorganisasikan berbagai konperensi internasional di bidang tersebut.

Setelah dua tahun tinggal di Maroko, perjalanan spiritualnya menghantarkannya pada Islam dan secara resmi memilih Islam pada tahun 1987, serta mengubah namanya menjadi Abd-al-Haqq Bruno Guiderdoni. Dari tahun 1993 hingga 1999, ia menangani program TV yang berjudul “Knowing Islam”' yang disiarkan melalui State Channel France 2 setiap Minggu pagi. Ia dan sejumlah pakar lainnya memelopori berdirinya Islamic Institute for Advanced Studies pada tahun 1995, yang "bertujuan untuk membantu kalangan muslim Eropa menemukan dimensi intelektual Islam".

Dia juga banyak melakukan berbagai pembahasan mengenai sipiritualitas, melakukan dialog antar-agama dan hubungan antara sains dan Islam. Bruno Guiderdoni juga menjadi anggota "Board of Advisors pada John Templeton Foundation, dan program Scientific Advisory Board of the “Science and Spiritual Quest 2” di Center for Theology and the Natural Sciences (Berkeley, USA).

More exploration: Cosmology, Origins and Creation by Bruno Guiderdoni; The End of Science by John Horgan. A talk with John Horgan about this book and his responds to Kevin Kelly and George Johnson who critics his book.

2 comments:

Videos by Professor Howdy
This comment has been removed by a blog administrator.
TN

Inteligensi Spiritual bukanlah karya terakhir Hidayat Nataatmadja. Silakan kunjungi untuk menyimak karya-karya lainnya.

Blogger template 'Darkness Fall' by Ourblogtemplates.com 2008